Senin, 03 Januari 2011

Sertifikasi Waqaf


Wacana pemberdayaan ekonomi umat melalui sertifikasi wakaf dengan uang tunai yang lazim dikenal Sertifikat Wakaf Tunai (Cash Waqf Certificate) tidak terlepas dari pendekatan konseptual, sistematika dan metodologinya. Prof. Volker Nienhaus, peneliti senior non muslim dan ahli ekonomi Islam dari Universitas Bochum Jerman dalam artikelnya berjudul Islamic Economics: Policy between Pragmatism and Utopia (1982) mengungkapkan empat formula pendekatan kajian ekonomi Islam: pragmatis, resitatif, utopian, dan adaptif.
Menurutnya, dari keempat pendekatan itu, yang paling banyak dipakai adalah pendekatan resitatif. Berasal dari kata kerja recitation (pembacaan, imlak, hafalan dan pengajian), adalah pendekatan mengacu pada teks ajaran Islam Secara khusus, pendekatan ini di antaranya mengacu pada hukum Fiqih Mu’amalah kalangan fuqaha yang disebutnya the orthodox jurist. Termasuk kategori pendekatan ini, kajian yang berorientasi teologis dan analisis moral yang pada perkembangan selanjutnya melahirkan formula etika ekonomi seperti yang ditulis oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Daurul Qiyam wal Akhlaq fi al-Iqtishad al-Islami (1995). Dalam litaratur klasik pendekatan teologi akhlak tersebut dikenal dengan Adab Al-Kasb wal Ma’asy seperti dikenalkan Imam Al-Ghozali (w.505H) dalam Ihya’ Ulumuddinnya.
Wakaf memasuki wilayah sistem ekonomi dapat dipahami bila disertai kajian kritis mengenai paradigma ekonomi yang kesejatiannya membawa kepada kemaslahatan (kesejahteraan sosial). Paradigma ekonomi yang berlaku selama dua abad, bukan saja menunjukkan kerapuhan dasar teoritisnya itu sendiri, bahkan asumsi-asumsi yang mendasarinya dan kemampuannya untuk memprediksi perilaku di masa datang. Itulah yang diungkap Dr. Khurshid Ahmad ketika memberi pengantar buku terbaru Chapra The Future of Economics; An Islamic Perspective (2000). Diskusi tidak lagi terbatas pada perubahan-perubahan di dalam paradigma; perdebatan mengarah kepada kebutuhan akan adanya perubahan paradigma itu sendiri. Tantangan ini, tulis Amitai Etzioni dalam The Moral Dimension; Towards a New Economics (1988) adalah paradigma utilitarian, rasionalistik, individualistik, neo-klasik yang diterapkan bukan saja pada perekonomian, bahkan meningkat pada berbagai aturan hubungan sosial.
Senada dengan pandangan itu, Critovan Buarque, ekonom dari Universitas Brasil dalam bukunya The End of Economics: Ethics and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma ekonomi modern yang mengabaikan nilai-nilai sosial dan etika. Hal tersebut menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang disebut Fukuyama “kekacauan dahsyat” dalam bukunya yang paling anyar, The End of Order (1997) berkaitan dengan runtuhnya solidaritas keluarga dan sosial. Oleh karena itu, wakaf menjadi jawaban tepat atas kekisruhan paradigma ekonomi tersebut. Karena, wakaf membuktikan fenomena semangat solidaritas sosial.
Wakaf tidak akan valid sebagai amal jariyah kecuali setelah benar-benar pemiliknya menyatakan aset yang diwakafkannya menjadi aset publik dan ia bekukan haknya untuk kemaslahatan umat. Dan wakaf tidak akan bernilai amal jariyah (amal yang senantiasa mengalir pahala dan manfaatnya) sampai benar-benar didayagunakan secara produktif sehingga berkembang atau bermanfaat tanpa menggerus habis aset pokok wakaf.
Menurut A.Mannan (1998), unsur esensial wakaf berupa keputusan penahanan diri dari menggunakan asset miliknya yang telah diwakafkan (refraining) yang disertai penyerahannya kepada kemasalahaatan publik menyiratkan tujuan pemanfaatannya secara optimal untuk kesejahteraan masyarakat luas secara permanen dan kontinyu sebagaimana doktrin amal jariah. Oleh karena itu, sangat relevan, terlepas dari perdebatan fiqih, bolehnya wakaf dengan dana tunai (cash) dan bukan harta tetap. Bahwa, gagasan sertifikat wakaf tunai dengan pola sertifikasi sebagai bukti ‘share holder’ proyek wakaf guna pengawasan dan wasiat pemanfaatan dari hasil (return) investasi dan pengelolaannya secara produktif.
Substansi wacana wakaf tunai sebenarnya telah lama muncul. Bahkan, dalam kajian fiqih klasik sekalipun seiring dengan munculnya ide revitalisasi fiqih mu’amalah dalam perspektif maqashid syariah (filosofi dan tujuan syariah) yang dalam pandangan Umar Chapra (1992) bermuara pada Al-Mashalih Al-Mursalah (kemashlahatan universal) termasuk upaya mewujudkan kesejahteraan sosial melalui keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan.
Dalam konteks ini, melalui pembahasan awal di Dewan Syariah Nasional (DSN)-MUI yang ditindaklanjuti oleh keputusan rapat Komisi Fatwa - MUI dalam mengakomodir kemaslahatan sejalan dengan maqashid asy-syari’ah yang terdapat pada konsep wakaf tunai berdasarkan pendapat Az-Zuhri, ulama madzhab Hanafi, Maliki dan Hanbali seperti Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qudamah, para ulama Indonesia telah memutuskan untuk membolehkan wakaf tunai.
Isu kesejahteraan sosial dan ekonomi kerakyatan ternyata secara empiris telah gagal dimanivestasikan sistem Sosialis maupun Kapitalis. Bahkan, Keynes (1930) dengan menyerabot secara sepotong gagasan Ibnu Khaldun berusaha mengusung slogan dan wacana kesejahteraan sekalipun melalui gagasan model Negara Sejahtera (Welfare State) di Inggris dan modifikasinya model New Deal yang dikembangkan oleh Franklin Delano Rosevelt mengalami kemandulan. Pasalnya, format eksperimental tersebut tidak menyentuh inti persoalan yang sesungguhnya. Yaitu, keadilan ekonomi yang universal.
Sungguhpun dalam kajian utopian dunia Barat berusaha mengkongkretkan cita-cita keadilan sosial, tapi tetap saja terjadi kerancuan dalam pelaksanaannya. Kemandulan yang dihasilkan elaborasi teori dan praktek yang dilakukan Filsuf sosial Amerika, John Rawls, dalam bukunya The Theory of Justice (1971) yang ditanggapi oleh Robert Nozik dalam bukunya Anarchy, State and Utopia (1974) telah menjadi contoh yang merepresentasikan kegagalan teori keadilan perspektif Barat dalam tataran impelentasi historis.
Sayyid Quthb (1964) pemikir Islam dari Mesir dengan gaya pendekatan komprehensif dalam bukunya Al-‘Adalah Al-Ijtima’iyah fil Islam berhasil memformulasikan teori keadilan sosial dalam Islam dan instrumen pendukungnya termasuk wakaf yang bukan sebatas teori utopis belaka melainkan kajiannya berangkat dari fakta sejarah peradaban Islam. Setelah mengupas pandangan Islam mengenai kasih sayang, kebajikan, keadilan dan jaminan sosial yang menyeluruh antara orang yang mampu dan yang tidak, antara kelompok yang kaya dan yang miskin, antara individu dan masyarakat, antara pemerintah dan rakyat, bahkan antara segenap umat manusia, Quthb selalu membeberkan fakta historis bagaimana konsep tersebut membumi dalam perjalanan kesejarahan generasi terbaik Islam.
Sebagai contoh, Quthb mengisahkan sepenggal fragmen sejarah solidaritas kalangan sahabat; Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Di antara impelementasi keadilan sosial melalui prakarsa wakaf dalam pengalaman kesejarahan awal Islam telah dibuktikan Umar bin Khathab sebagai warga sederhana bersedia secara ikhlas atas petunjuk Nabi saw. untuk mewakafkan satu-satunya aset berharga yang dimilikinya berupa sebidang tanah di Khaibar untuk kemaslahatan umat. Dengan menukil pandangan Gibb untuk mendukung kritik sosialnya, Quthb menawarkan sebuah tantangan bagi umat Islam untuk mengulang pengalaman sejarah dalam mewujudkan kembali cita-cita keadilan sosial dengan modal populasi umat yang begitu besar di wilayah Afrika, Pakistan dan Indonesia. Menurutnya, hal itu sangat potensial memberi kontribusi bagi kesejahteraan sosial secara luas.
Gagasan Wakaf Tunai yang dipopulerkan oleh M.A. Mannan melalui pembentukan Social Investment Bank Limited (SIBL) di Banglades yang dikemas dalam mekanisme instrumen Cash Waqf Certificate juga telah memberikan kombinasi alternatif solusi mengatasi krisis kesejahteraan yang ditawarkan Chapra. Model Wakaf Tunai adalah sangat tepat memberikan jawaban yang menjanjikan dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Ia juga mampu mengatasi krisis ekonomi Indonesia kontemporer di tengah kegalauan pemberian insentif Tax Holiday untuk merangsang masuknya modal asing. Model wakaf tunai juga bisa mengalahkan kontroversi seputar policy pemerintah pada UKM yang belum mengena sasaran dan menyentuh inti permasalahan. Wakaf Tunai sangat potensial untuk menjadi sumber pendanaan abadi guna melepaskan bangsa dari jerat hutang dan ketergantungan luar negeri sebagaimana disoroti ekonomi UI, Mustafa E. Nasution (2001) dan menjadi keprihatinan kalangan pengamat semisal Dr. Tulus Tambunan dalam Krisis Ekonomi dan Masa Depan Reformasi (1998).
Wakaf Tunai sekaligus sebagai tantangan untuk mengubah pola dan preferensi konsumsi umat dengan filter moral kesadaran akan solidaritas sosial. Sehingga, tidak berlaku lagi konsep pareto optimum yang tidak mengakui adanya solusi yang membutuhkan pengorbanan dari pihak minoritas (kaya) guna meningkatkan kesejahteraan pihak yang mayoritas (kaum miskin). Sebagaimana, gugatan Chapra dalam berbagai tulisannya.
Berdasarkan laporan yang ditulis Maurice Allais peraih Nobel tahun 1988 dalam bidang ekonomi, dari sebanyak US$ 420 M uang yang beredar di dunia per hari, hanya sebesar US$ 12,4 M (2,95%) saja yang digunakan untuk keperluan transaksi. Sisanya, untuk keperluan spekulasi dan judi. Sedangkan situasi yang diharapkan adalah bila terjadi keseimbangan antara sektor moneter dan sektor riil. Sektor moneter semestinya tidak berjalan sendiri meninggalkan sektor riil.
Oleh karena itu, sangat tepat bila penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan produktif ke sektor riil dimobilisir. Salah satunya, dengan memberikan kredit mikro melalui mekanisme kontrak investasi kolektif (KIK) semacam reksadana syariah yang dihimpun Sertifikat Wakaf Tunai (SWT) kepada masyarakat menengah dan kecil agar memiliki peluang usaha.
Pemberian skim kredit mikro ini cukup mendidik. Ibarat memberi kail, bukan hanya ikan kepada rakyat. Hal itu diharapkan mampu menumbuhkan kemandirian. Porsi bagi hasil untuk fund manager setelah dikurang biaya oprasional dapat disalurkan untuk kebutuhan konsumtif dalam menunjang kesejahteraan kaum fuqara melalui wasiat wakif ataupun tanpa wasiatnya.
Dalam perkembangan kekinian di Indonesia, wacana wakaf tunai telah muncul dan menjelma secara nyata dalam produk-produk funding lembaga keuangan syariah dan Lembaga Amil zakat. Contohnya, Wakaf Tunai Dompet Dhua’fa Republika, Wakaf Tunai PKPU dan Waqtumu (Waqaf Tunai Muamalat) yang diluncurkan Baitul Muamalat - BMI.
Dalam sebuah konferensi yang dihadiri oleh para pemimpin negara anggota PBB yang kategori termiskin dan maju di Brussel, Belgia pada tanggal 14 Mei 2001, diangkatlah topik “Melebarnya Jurang antara Kaya dan Miskin”. Pada konferensi itu Presiden Perancis Jacques Chirac menyatakan bahwa lebih separuh dari 630 juta penduduk di negara miskin hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1 sehari. Meskipun terjadi pertumbuhan global serta adanya bantuan pembangunan, namun jumlah negara yang digolongkan PBB sebagai negara ‘paling terbelakang’ malah meningkat dari 25 negara pada tahun 1971 menjadi 49 negara tahun 2001. Yang dimaksud sebagai negara “paling terbelakang” adalah negara yang angka pendapatan perkapitanya kurang dari US$ 900 per tahun.
Negara Indonesia saat ini hampir memenuhi semua ciri-ciri negara miskin. Antara lain, pendapatan perkapita rendah, tingkat pertumbuhan populasi tinggi, produktivitas rendah, pengangguran tinggi, penggunaan sumber daya rendah, kelembagaan dan infrastruktur tidak memadai. Karena itu, untuk mengurangi beban pemerintah dan rakyat, model Wakaf Tunai sangat tepat untuk melancarkan ketersumbatan fungsi financial intermediary. Sehingga, terjadi arus lancar penyaluran dana ke seluruh anggota masyarakat. Sebagaimana, disebutkan Alquran terhadap pantangan konsentrasi kekayaan (dulah bainal aghniya’) pada segelintir anggota masyarakat serta resistensi terhadap status idle (nganggur) bagi segenap sumber daya dan asset yang bertentangan dengan kosep syukur. (Lihat, QS.Al-Hasyr:7)
Dalam rangka mobilisasi dana masyarakat dan optimalisasi potensi finansial umat untuk kemaslahatan perekonomian, gagasan Wakaf Tunai akan dapat melengkapi UU No.17 tahun 2000 tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan. Di mana, zakat dimasukkan sebagai faktor pengurang pajak. Di samping itu, juga dapat mendukung lembaga-lembaga pengelola zakat dengan diberlakukannya UU Pengelolaan Zakat Nomor 38 tahun 1999. Departemen Agama sebagai otoritas keagamaan dan saat ini juga otoritas administrasi wakaf secara proaktif telah memintakan fatwa kepada DSN mengenai status hukum wakaf tunai guna penyempurnaan PP No. 28 Th 1977 agar lebih akomodatif dan ekstensif.
Selama ini sudah terdapat beberapa instrumen pendanaan seperti Zakat, Infak dan Sedekah (ZIS). Masing-masing mempunyai kelebihan dan kelemahan sendiri-sendiri. Selain instrumen yang telah ada tersebut, tentunya sangat mendesak dan krusial dibutuhkan suatu pendekatan baru dan inovatif sebagai pendamping mobilisasi dana umat lebih optimal. Bukankah Nabi saw bersabda bahwa selain zakat ada kewajiban lain dalam harta kita.
Dalam konteks ini, Indonesia saatnya belajar dari negara Bangladesh. Melalui Social Investment Bank Limited (SIBL), Bangladesh menggalang dana dari orang-orang kaya untuk dikelola dan disalurkan kepada rakyat dalam bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan sosial, melalui mekanisme produk funding baru yang berupa sertifikat wakaf tunai (Cash Waqf Certificate) yang akan dimiliki oleh pemberi dana tersebut. Dalam Instrumen keuangan baru ini, sertifikat wakaf tunai merupakan alternatif pembiayaan yang bersifat sosial dan bisnis.
Penerapan instrumen sertifikat wakaf tunai ini mampu menjadi salah satu alternatif sumber pendanaan sosial (M.A.Mannan, 1999). Efek kemaslahatan SWT sudah mulai terasa di Bangladesh. Memang, negara ini tergolong miskin. Tapi, fasilitas pendidikan dan kesehatannya jauh lebih baik dari Indonesia.
Selama ini, sumber dana pengentasan kemiskinan bersumber antara lain dari :
1. Pemerintah pusat, yang disalurkan melalui departemen-departemen dan pemerintah daerah (pemda) masing-masing.
2. Pihak luar negeri, yang disalurkan melalui pemerintah, organisasi-organisasi kemasyarakatan, LSM dan ada yang disalurkan secara langsung kepada pihak yang membutuhkan.
3. Perusahaan swasta, yang disalurkan melalui badan-badan amal, yayasan-yayasan, dll.
4. Masyarakat, dikumpulkan melalui BAZIS (Badan Amal Zakat, Infak dan Sedekah) berupa zakat, infak dan sedekah masyarakat. Selain itu, ada dana yang disalurkan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan. Masyarakat Islam juga mengkenal Wakaf, yaitu pemberian tanah atau bangunan yang digunakan sepenuhnya untuk masyarakat sekitar tanah/bangunan dimana wakaf tersebut berdiri. (Masyitha, 2001)
Dengan keterbatasan kemampuan pemerintah saat ini, timbul ide untuk mencari alternatif sumber pendanaan yang lebih bersifat non formal. Yaitu, dengan menggalang dana dari masyarakat Indonesia itu sendiri. Partisipasi aktif segenap rakyat Indonesia yang mempunyai kelebihan rezeki sangat diharapkan memperbaiki keadaan sekarang ini.
Berbagai pihak yang sangat peduli dengan situasi ini berusaha menggalang dana dengan berbagai cara, seperti Dompet Dhuafa Republika, Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU), Baitul Maal Muamalat, Dompet Sosial Ummul Qura, Pundi Amal SCTV, RCTI Peduli, Dompet Amal Pikiran Rakyat, dll.
Berdasarkan fenomena di atas, dapat dikatakan bahwa potensi dana masyarakat sangat besar. Berbagai badan amal tersebut, selain mempunyai kelebihan masing-masing, juga mempunyai banyak kelemahannya, seperti;
1. Badan amal tersebut biasanya didirikan secara sporadis dan kurang terkoordinasi meskipun sekarang sudah ada badan akreditasi nasional untuk lembaga penghimpun dana sosial.
2. Kurang sistematis dan koordinasinya pendistribusian bantuan, antara badan amal yang satu dengan yang lain. Sehingga menimbulkan ketidakmerataan bantuan tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan ketidakadilan.
3. Bila berwakaf dalam bentuk properti, hanya masyarakat di sekitar properti itu saja yang dapat menikmati dan kurang menyebar.
4. Perangkap kemiskinan di Indonesia ini hanya dapat diatasi dengan meningkatkan pendapatan dan kemampuan masyarakat/sumber daya manusia. Sehingga kalau hanya ikan yang diberikan bukan kail-nya, jangan harap kemiskinan ini akan dapat dientaskan di bumi Indonesia.
5. Bantuan dari badan sosial di atas kebanyakan efektif untuk membantu dalam jangka pendek saja, tetapi kurang terprogram untuk jangka panjang (long term).
Dari berbagai paparan di atas, keberadaan model wakaf tunai dirasakan perlu sebagai instrumen keuangan alternatif yang dapat mengisi kekurangan-kekurangan badan sosial yang telah ada. Dalam ajaran Islam, ada yang dikenal dengan Wakaf. Penyaluran Wakaf ini sudah berlangsung sangat lama di Indonesia. Wakaf menurut PP no. 28 Th 1977 adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya demi kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.
Pemberi bantuan Wakaf yang disebut Wakif adalah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan tanah miliknya. Biasanya wakaf ini berupa properti seperti mesjid, tanah, bangunan sekolah, pondok pesantren, dll. Di sisi lain, kebutuhan masyarakat saat ini juga berupa dana tunai untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Berdasarkan prinsip Wakaf tersebut, dibuatlah inovasi produk Wakaf yaitu Wakaf Tunai. Yaitu, Wakaf tidak hanya berupa properti tapi dengan dana (uang) secara tunai. Sebenarnya, ide dasar yang dirumuskan oleh Prof. DR. M.A.Abdul Mannan dan telah diterapkan melalui Social Investment Bank Limited (SIBL) di Bangladesh ini telah lama dilakukan di Indonesia. Beberapa organisasi dan lembaga sosial keislaman sudah menerapkannya dalam ukuran tradisional. Seperti, pembelian wakaf per meter untuk pembebasan sebidang tanah guna pendirian maupun pengembangan lembaga sosial maupun pendidikan dengan menerima bukti (tanda) pembelian tertentu. Namun, wakaf yang ada lebih bersifat konsumtif sosial (voluntary sector) dan belum berkembang menjadi produktif komersial yang hasilnya untuk mustahiq.
Inti ajaran yang terkandung dalam amalan wakaf itu sendiri menghendaki agar harta wakaf itu tidak boleh diam. Semakin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati orang, semakin besar pula pahala yang akan mengalir kepada pihak wakif. Dana yang dapat digalang melalui Sertifikat Wakaf Tunai ini nantinya akan dikelola oleh suatu manajemen investasi. Manajemen investasi dalam hal ini bertindak sebagai Nadzir (pengelola dana wakaf) yang akan bertanggung jawab terhadap pengelola harta wakaf.
Persoalannya sekarang, bagaimana model dan mekanisme penerapan Sertifikat Wakaf Tunai ini dapat aplicable dan visible diterapkan di Indonesia. Dengan menimbang dan mengakomodir keberatan kelompok terhadap status hukum wakaf tunai seperti kalangan madzhab Syafi’i yang mengkhawatirkan habisnya pokok wakaf, maka sangat mendesak untuk dirumuskan dan diformulasikan model dan mekanisme semacam early warning untuk mengontrol dan menghindari resiko pengurangan modal wakaf dalam konteks risk management. Meskipun, dananya diputar dalam investasi sektor riil, di samping alternatif menggunakan cara konvensional asuransi dan penjaminan syariah.
Tergalinya potensi dana wakaf yang dahsyat sangat diharapkan melalui impelemntasi Sertifikat Wakaf Tunai yang menyejahterakan masyarakat secara terkoordinatif, sinergis, sitematis dan professional. Di samping itu, tantangan integritas amanah dan kepercayaan (trust) bagi pengelolaan dana sosial (volunteer) menjadi pemikiran bersama untuk mewujudkan bentuk yang fit and proper bagi penerapan konsepnya. Bukankah Allah selalu menjanjikan keberkahan dan kemaslahatan dalam sistem sedekah pengganti sistem ribawi yang eksploitatif dan memonopoli modal. Bukankah Allah juga menjanjikan keberkahan, kemitraan, dan kebersamaan. Marilah kita gagas dan wujudkan bersama.

Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi Umat

Di zaman modern ini, salah satu bentuk dan gerakan wakaf yang banyak mendapat perhatian para cendikiawan dan ulama adalah cash waqf (wakaf tunai). Dalam sejarah Islam, cash waqf berkembang dengan baik pada zaman Bani Mamluk dan Turki Usmani. Namun baru belakangan ini menjadi bahan diskusi yang intensif di kalangan para ulama dan pakar ekonomi Islam. Di Indonesia hasil diskusi dan kajian itu membuahkan hasil yang menggembirakan, yakni dimasukkannya dan diaturnya cash waqf (wakaf tunai) dalam perundangan-undangan Indonesia melalui UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Dengan demikian, wakaf tunai telah diakui dalam hukum positif di Indonesia. Lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf diarahkan untuk memberdayakan wakaf yang merupakan salah satu instrumen dalam membangun kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Kehadiran Undang-undang wakaf ini menjadi momentum pemberdayaan wakaf secara produktif, sebab di dalamnya terkandung pemahaman yang komprehensif dan pola manajemen pemberdayaan potensi wakaf secara modern.Apabila dalam perundang-undangan sebelumnya, PP No.28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, konsep wakaf identik dengan tanah milik, maka dalam Undang-Undang Wakaf yang baru ini konsep wakaf mengandug dimensi yang sangat luas. Ia mencakup harta tidak bergerak maupun yang bergerak, termasuk wakaf tunai yang penggunaannya sangat luas, tidak terbatas untuk pendirian tempat ibadah dan sosial keagamaan. Formulasi hukum yang demikian, jelas suatu perubahan yang sangat revolusioner dan jika dapat direalisasikan akan memiliki akibat yang berlipat ganda atau multiplier effect, terutama dalam kaitannya dengan pemberdayaan ekonomi umat Islam.Namun usaha ke arah itu jelas bukan pekerjaan yang mudah. Umat Islam Indonesia selama ratusan tahun sudah terlanjur mengidentikkan wakaf dengan (dalam bentuk) tanah, dan benda bergerak yang sifatnya bendanya tahan lama. Dengan demikian, UU No. 41 tahun 2004 diproyeksikan sebagai sarana rekayasa sosial (social engineering), melakukan perubahan-perubahan pemikiran, sikap dan perilaku umat Islam agar senafas dengan semangat UU tersebut. Salah satu regulasi baru dalam Undang-Undang Wakaf tersebut adalah Wakaf Tunai.Dasar Syariah Cash WaqafPengembangan wakaf dalam bentuk uang yang dikenal dengan cash wakaf atau wakaf tunai sudah dilakukan sejak lama. Bahkan dalam sejarah Islam, wakaf tunai sudah dipraktekkan sejak abad kedua Hijriyah. Diriwayatkan oleh Imam Bukhari bahwa Imam az Zuhri (wafat 124 H), salah seorang ulama terkemuka dan peletak dasar tadwin al hadits, memberikan fatwanya untuk berwakaf dengan Dinar dan Dirham agar dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembangunan, dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Cara yang dilakukan adalah dengan menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha (modal produktif) kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf. Kebolehan wakaf tunai juga dikemukakan oleh Mazhab Hanafi dan Maliki. Bahkan sebagian ulama Mazhab Syafi’iy juga membolehkan wakaf tunai sebagaimana yang disebut Al-Mawardy, ”Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’iy tentang kebolehan wakaf dinar dan dirham”. Pendapat inilah yang dikutip Komisi fatwa MUI (2002) dalam melegitimasi wakaf tunai. Di Indonesia saat ini, persoalan boleh tidaknya wakaf uang, sudah tidak ada masalah lagi. Hal itu diawali sejak dikeluarkannya fatwa MUI pada tanggal 11 Mei 2002. Isi fatwa MUI tersebut sebagai beikut :
1.      Wakaf uang (cash wakaf/ waqf al-nuqud) adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, lenmbaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai.
2.      Termasuk ke dalam pengertian uang adalah surat-surat berharga.
3.      Waqaf uang hukumnya jawaz (boleh)
4.      Wakaf uang hanya boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syar’iy. Nilai pokok wakaf uang harus dijamin kelestariannya, tidak boleh dijual, dihibahkan dan atau diwariskan.
Dengan diundangkannya UU No 41 Tahun 2004, kedudukan wakaf uang semakin jelas, tidak saja dari segi fiqh (hukum Islam), tetapi juga dari segi tata hukum nasional. Artinya, dengan diundangkannya UU tersebut maka wakaf tunai telah menjadi hukum positif, sehingga persoalan khilafiyah tentang wakaf tunai telah selesai.

Pemberdayaan Ekonomi UmatDi tilik dari tujuan dan kontribusi yang dapat diberikan oleh institusi wakaf uang , maka keberadaan wakaf uang di Indonesia menjadi sangat krusial. Setidaknya ada beberapa hal yang mengakibatkan pentingnya pemberdayaan wakaf di Indonesia<!–[if !supportLists]–>1. <!–[endif]–> Krisis ekonomi di akhir dekade 90-an yang menyisakan banyak permasalahan: jumlah penduduk miskin yang meningkat, ketergantungan akan hutang dan bantuan luar neger<!–[if !supportLists]–>2. <!–[endif]–> Kesenjangan yang tinggi antara penduduk kaya dengan penduduk miskin<!–[if !supportLists]–>3. <!–[endif]–> Indonesia memiliki jumlah penduduk muslim terbesar, sehingga wakaf memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan<!–[if !supportLists]–>4. <!–[endif]–> Sejumlah bencana yang terjadi, mengakibatkan terjadinya defisit APBN, sehingga diperlukan kemandirian masyarakat dalam pengadaan publicgoods.Meski demikian, bukan sesuatu yang mudah untuk dapat menyelesaikan sejumlah masalah dalam perekonomian nasional. Butuh keseriusan, komitmen dan juga kerja keras untuk dapat menyelesaikannya. Sebagai contoh, dari hasil simulasi yang dilakukan oleh Masyita, dkk dalam study mereka yang bertemakan “A Dynamic Model for Cash Waqf Management as One of The Alternative Instruments for the Poverty Alleviation in Indonesia” dinyatakan bahwa: Based on the study result above and various scenarios proposed, if the gathered fund through cash waqf certificate increase i.e. IDR 50 million in a day, it will take approximately 11000 days (30 years) to eliminate poverty and 21000 days (57 years) to increase quality of live for Indonesian population with the assumption the others constant.

Pengembangan wakaf tunai memiliki nilai ekonomi yang strategis. Dengan dikembangkannya wakaf tunai, maka akan didapat sejumlah keunggulan, di antaranya adalah sebagai berikut: Pertama, wakaf uang jumlahnya bisa bervariasi sehingga seseorang yang memiliki dana terbatas sudah bisa mulai memberikan dana wakafnya tanpa harus menunggu menjadi orang kaya atau tuan tanah terlebih dahulu, sehingga dengan program wakaf tunai akan memudahkan si pemberi wakaf atau wakif untuk melakukan ibadah wakaf.Kedua, melalui wakaf uang, aset-aset wakaf yang berupa tanah-tanah kosong bisa mulai dimanfaatkan dengan pembangunan gedung atau diolah untuk lahan pertanian. Ketiga, dana wakaf tunai juga bisa membantu sebagian lembaga-lembaga pendidikan Islam yang cash flow-nya kembang-kempis dan menggaji civitas akademika ala kadarnya. Keempat, pada gilirannya, insya Allah, umat Islam dapat lebih mandiri dalam mengembangkan dunia pendidikan tanpa harus terlalu tergantung pada anggaran pendidikan negara yang memang semakin lama semakin terbatas. Kelima, dana waqaf tunai bisa memberdayakan usaha kecil yang masih dominan di negeri ini (99,9 % pengusaha di Indonesia adalah usaha kecil). Dana yang terkumpul dapat disalurkan kepada para pengusaha tersebut dan bagi hasilnya digunakan untuk kepentingan sosial, dsb. Keenam, dana waqaf tunai dapat membantu perkembangan bank-bank syariah, khususnya BPR Syariah. Keunggulan dana waqaf, selain bersifat abadi atau jangka panjang, dana waqaf adalah dana termurah yang seharusnya menjadi incaran bank-bank syariah. Dengan adanya lembaga yang concern dalam mengelola wakaf tunai, maka diharapkan kontribusi dalam mengatasi problem kemiskinan dan kebodohan yang mendera bangsa akan lebih signifikan. Apalagi sebagaimana yang telah dihitung oleh seorang ekonom, Mustafa E. Nasution, Ph.D, potensi wakaf tunai umat Islam di Indonesia saat ini bisa mencapai Rp 3 triliun setiap tahunnya. Bahkan bisa jauh bisa lebih besar. Hal ini, dikarenakan, lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibanding dengan wakaf biasa. Sertifikat Wakaf Tunai dapat dibuat dalam berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang kira-kira memiliki kesadaran beramal tinggi. Misalkan Rp 10.000,-, Rp 25.000,- 50.000,-, Rp 100.000,- Rp 500.000,- Rp 1.000.000,- Rp 2.000.000.Jika jumlah umat Islam yang berwakaf 26 juta saja, maka bisa dihimpun dana lebih dari 22 triliun lebih.Untuk mengelola dan mengembangkan wakaf tunai dengan baik, dibutuhkan SDI yang amanah, profesional, berwawasan ekonomi, tekun dan penuh komitmen yang kuat. Oleh karena institusi wakaf tunai adalah perkara yang baru dalam gerakan wakaf di Indonesia, maka dibutuhkan sosialisasi yang terus menerus oleh para akademisi, ulama, praktisi ekonomi syariah, baik melalui seminar, training, ceramah maupun tulisan di media massa. Sekian Wallahu A’lam.

Menggali Sumber Dana Umat Melalui Wakaf Uang

Ditulis oleh PMII KOMFAKSYAHUM di/pada Mei 27, 2007
Oleh: HM Cholil Nafis
Wakaf adalah instrumen ekonomi Islam yang unik yang mendasarkan fungsinya pada unsur kebajikan (birr), kebaikan (ihsan) dan persaudaraan (ukhuwah). Ciri utama wakaf yang sangat membedakan adalah ketika wakaf ditunaikan terjadi pergeseran kepemilikan pribadi menuju kepemilikan Allah SWT yang diharapkan abadi, memberikan manfaat secara berkelanjutan. Melalui wakaf diharapkan akan terjadi proses distribusi manfaat bagi masyarakat secara lebih luas, dari manfaat pribadi (private benefit) menuju manfaat masyarakat (social benefit).
Namun, nampaknya mayoritas umat Islam Indonesia mempersepsikan bahwa wakaf keagamaan lebih penting daripada wakaf untuk tujuan pemberdayaan sosial. Sehingga mereka lebih banyak mempraktikkan wakaf keagamaan, seperti masjid, musalla, makam dan sebagainya.
Sementara untuk tujuan pemberdayaan, seperti wakaf pendidikan, pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat belum dipandang penting. Selain itu, para wakif biasanya hanya menyumbangkan tanah atau bangunan sekolah kepada nazhir, namun menutup mata terhadap biaya operasionalnya dan pengembangan ekonominya. Akibatnya, banyak yayasan pendidikan Islam, yang berbasis wakaf, gulung tikar atau telantar.
Jumlah penduduk umat Islam terbesar di seluruh dunia dan Jumlah aset wakaf tanah di Indonesia sangat besar. Wakaf tanah di Indonesia sebanyak 358.710 lokasi, dengan luas tanah 1,538,198,586 M2. Akan tetapi potensi ini belum dapat memberi peran maksimal dalam mensejahterakan rakyat dan memberdayakan ekonomi masyarakat. Penelitian wakaf oleh PBB UIN Syahid Jakarta terhadap 500 responden nazhir di 11 Propinsi menunjukkan bahwa wakaf di Indonesia lebih banyak dikelola oleh perseorangan (66%) daripada organisasi (16%) dan badan hukum (18%).
Selain itu, harta wakaf juga lebih banyak yang tidak menghasilkan (77%) daripada yang menghasilkan atau produktif (23%). Temuan umum lainnya juga menunjukkan pemanfaatan terbesar harta wakaf adalah masjid (79%) daripada peruntukkan lainnya, dan lebih banyak berada di wilayah pedesaan (59%) daripada perkotaan (41%). Selain itu, diketahui bahwa jumlah nazhir yang bekerja secara penuh itu minim (16 %). Umumnya mereka bekerja sambilan dan tidak diberi upah (92%) .
Potensi Wakaf Uang
Wakaf uang, dalam bentuknya, dipandang sebagai salah satu solusi yang dapat membuat wakaf menjadi lebih produktif. Karena uang di sini tidak lagi dijadikan sebagai alat tukar menukar saja, lebih dari itu; ia merupakan komoditas yang siap memproduksi dalam hal pengembangan yang lain. Oleh sebab itu, sama dengan jenis komoditas yang lain, wakaf uang juga dipandang dapat memunculkan sesuatu hasil yang lebih banyak.
Uang, sebagai nilai harga sebuah komoditas, tidak lagi dipandang semata mata sebagai alat tukar, melainkan juga komoditas yang siap dijadikan alat produksi. Ini dapat diwujudkan dengan misalnya, memberlakukan sertifikat wakaf uang yang siap disebarkan ke masyarakat. Model ini memberikan keuntungan bahwa wakif dapat secara fleksibel mengalokasikan (tasharufkan) hartanya dalam bentuk wakaf. Demikian ini karena wakif tidak memerlukan jumlah uang yang besar untuk selanjutnya dibelikan barang produktif. Juga, wakaf seperti ini dapat diberikan dalam satuan satuan yang lebih kecil
Wakaf uang juga memudahkan mobilisasi uang di masyarakat melalui sertifikat tersebut karena beberapa hal. Pertama, lingkup sasaran pemberi wakaf (waqif) bisa menjadi luas dibanding dengan wakaf biasa. Kedua, dengan sertifikat tersebut, dapat dibuat berbagai macam pecahan yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju yang dimungkinkan memiliki kesadaran beramal tinggi.
Dengan berbagai kemudahan yang ditawarkan dalam wakaf uang, maka umat akan lebih mudah memberikan kontribusi mereka dalam wakaf tanpa harus menunggu kapital dalam jumlah yang sangat besar. Mereka tidak harus menunggu menjadi ‘tuan tanah’ untuk menjadi wakif. Selain itu, tingkat kedermawanan masyarakat Indonesia cukup tinggi, sehingga kita dapat optimis mengharapkan partisipasi masyarakat dalam gerakan wakaf tunai. Disebutkan, 96 persen kedermawanan diperuntukkan untuk perorangan, 84 persen untuk lembaga keagamaan dan 77 persen untuk lembaga nonkeagamaan. (PIRAC, 2002).
Wakaf uang sudah sejak lama diselenggarakan, yakni di masa Dinasti Mu’awiyyah. Wakaf tunai sebenarnya sudah menjadi pembahasan ulama terdahulu; salah satunya Imam az-Zuhri (wafat tahu 124 H) yang membolehkan wakaf uang (saat itu dinar dan dirham). Bahkan sebenarnya pendapat sebagian ulama mazhab al-Syafi’i juga membolehkan wakaf uang. Mazhab Hanafi juga membolehkan dana wakaf tunai untuk investasi mudharabah atau sistem bagi hasil lainnya. Keuntungan dari bagi hasil digunakan untuk kepentingan umum.
Pada tgl 11 Mei 2002 Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa yang membolehkan wakaf uang (cash wakaf/ waqf al nuqud) dengan syarat nilai pokok wakaf harus dijamin kelestariannya. Pada Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pasal 28 – 31 dan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang pelaksanaannya (UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf) pasal 22 – 27 secara eksplisit menyebut tentang bolehnya pelaksanaan wakaf uang.
Jumlah umat Islam yang terbesar di seluruh dunia merupakan aset besar untuk penghimpunan dan pengembangan wakaf uang. Jika wakaf tunai dapat diimplementasikan maka ada dana potensial yang sangat besar yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan dan kesejahteraan umat. Bisa dibayangkan, jika ‎‎20 juta umat Islam Indonesia mau mengumpulkan wakaf tunai senilai Rp 100 ribu setiap bulan, ‎maka dana yang terkumpul berjumlah Rp 24 triliun setiap tahun. Jika 50 juta orang yang ‎berwakaf, maka setiap tahun akan terkumpul dana wakaf sebesar Rp 60 triliun. Jika saja terdapat 1 juta saja masyarakat muslim yang mewakafkan dananya sebesar Rp 100.000, per bulan maka akan diperoleh pengumpulan dana wakaf sebesar Rp 100 milyar setiap bulan (Rp 1,2 trilyun per tahun). Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen per tahun maka akan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp 10 miliar setiap bulan (Rp 120 miliar per tahun). Sungguh suatu ‎potensi yang luar biasa.‎
Strategi Penghimpunan dan Pengembangan Wakaf Uang
Ada beberapa strategi penting untuk optimalisasi wakaf dan wakaf tunai dalam rangka untuk menopang pemberdayaan dan kesejahteraan ummat:
Pertama, optimalisasi edukasi dan sosialisasi wakaf uang. Seluruh komponen umat perlu untuk terus mendakwahkan konsep, hikmah dan manfaat wakaf pada seluruh lapisan masyarakat. Pendekatan komparatif dapat dilakukan baik pada level pemikiran hukum maupun pada level praktik. Fikih wakaf yang progresif dapat diperkenalkan kepada masyarakat melalui pendekatan lintas mazhab. Pemikiran hukum wakaf Mazhab Hanafi dan Maliki, misalnya, dapat dijadikan acuan komparatif bagi masyarakat kita yang mayoritas bermazhab Syafi’i.
Selain itu, cerita sukses wakaf masa lampau dalam sejarah Islam serta studi komparatif dengan pengalaman di negara-negara lain masa kini dapat menjadi informasi penting dalam sosialisasi wakaf uang. Fakta sejarah telah menunjukkan bahwa banyak lembaga yang bisa bertahan dengan ‎memanfaatkan dana wakaf, dan bahkan memberikan kontribusi yang signifikan.
Pada masa dinasti Umayyah terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya di bawab pengawasan hakim. Pada masa dinasti Abbasiyab terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “Shadrul Wuquuf” yang mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleb dinasti Fathimiyyah sebelumnya.
Sebagai contoh ‎adalah Universitas Al Azhar Mesir yang telah berumur lebih 1000 tahun dengan biaya wakaf, Pondok Pesantren Modern Gontor, Islamic Relief (sebuah organisasi ‎pengelola dana wakaf tunai yang berpusat di Inggris), dan sebagainya. Islamic Relief mampu mengumpulkan wakaf tunai setiap tahun tidak kurang dari 30 juta ‎poundsterling, atau hampir Rp 600 miliar, dengan menerbitkan sertifikat wakaf tunai senilai 890 ‎poundsterling per lembar. Dana wakaf tunai tersebut kemudian dikelola secara amanah dan ‎profesional, dan disalurkan kepada lebih dari 5 juta orang yang berada di 25 negara. Bahkan di ‎Bosnia, wakaf tunai yang disalurkan Islamic Relief mampu menciptakan lapangan kerja bagi lebih ‎dari 7.000 orang melalui program Income Generation Waqf.
Kedua, tindakan riil operasional wakaf uang melalui proyek percontohan (pilot project). Prinsipnya, bila ada contoh sukses di depan mata, biasanya masyarakat akan mengikuti dan berkreasi. Pendidikan dan pelatihan akan dengan sendirinya menjadi kebutuhan pengembangan setelah wakaf uang tersebut menjadi fakta di lapangan.
Adapun Dana wakaf yang terkumpul ini selanjutnya dapat digulirkan dan diinvestasikan oleh nadzir ke ‎dalam berbagai sektor usaha yang halal dan produktif, Misalnya membangun sebuah kawasan perdagangan yang sarana dan prasarananya dibangun di atas lahan wakaf dan dari dana wakaf. Proyek ini ditujukan bagi kaum miskin yang memiliki bakat bisnis untuk terlibat dalam perdagangan pada kawasan yang strategis dengan biaya sewa tempat yang relatif murah. Sehingga akan mendorong penguatan pengusaha muslim pribumi dan sekaligus menggerakkan sektor riil secara lebih massif. Sehingga keuntungannya dapat ‎dimanfaatkan untuk pembangunan umat dan bangsa secara keseluruhan.
Pengelolaan dan pengembangan wakaf uang, sebagaimana di atas, dapat mengambil bentuk seperti “wakaf tunai”, yang telah diujicobakan di Bangladesh. Wakaf tunai (cash waqf) istilah yang dipopulerkan oleh Profesor M.A. Mannan, dengan Social Investment Bank. Ltd (SIBL)-nya merupakan bagian menjadikan wakaf uang sebagai sumber sumber dana tunai. Konsep Temporary Waqf , pemanfaatan dana wakaf dibatasi pada jangka waktu tertentu dan nilai pokok wakaf dikembalikan pada muwaqif. Hal ini sangat menarik meski masih diperdebatakan kebolehannya. Wacana lain yang menarik adalah memanfaatkan Wakaf Tunai untuk membiayai sektor investasi berisiko, yang risikonya ini diasuransikan pada Lembaga Asuransi Syariah.
Pada poinnya, kita ingin melihat kemajuan wakaf di Indonesia seperti kejayaan wakaf pada masa dinasti-dinasti Islam yang mampu membiayai Negara dan membangun peradaban dan kemajuan ilmu pengetahuan melalui gerakan wakaf uang. Semoga.

1 komentar:

  1. Alhamdulillah posting ttg WAQAF ini bermanfaat dalam menyebarkan info ttg sejarah, fiqh dan undang2 yang mendukung ekksistensi Waqaf. Akan lebih baik jika DILENGKAPI dengan kisah2 sukses dan nyata berkaitan dengan WAQAF (SOCIAL INVESTMENT) MANAGEMENT minimal: POKOK WAQAF tidak habis, sementara pihak-pihak yang dibantu dengan WAQAF semakin banyak dan pada akhirnya akan menjadi pemberi waqaf juga (menjadi waqif)kelak

    BalasHapus